STAIM TULUNGAGUNG MENITI JALAN MASJID NABAWI DI MASJID BANDAR SERI PUTRA KUALA LUMPUR
STAIMTA.AC.ID. Rangkaian agenda rihlah academic Ketua STAIM Tulungagung pada hari ke enam menjadi momen puncak yang membekas secara spiritual dan intelektual. Tidak hanya menjadi penutup perjalanan ilmiah di Malaysia, namun hari ini menjadi saksi bertemunya semangat belajar, ruh dakwah, dan idealisme pendidikan Islam dalam satu tempat yang luar biasa di Masjid Bandar Seri Putra, Kuala Lumpur. Bukan sekadar sebuah bangunan peribadatan, masjid ini menjelma sebagai ikon perjuangan umat dalam mengelola dakwah dan pendidikan tanpa bergantung pada dana pemerintah, sebagaimana yang umum terjadi di Malaysia. Rihlah hari keenam ini bukan hanya sebuah perjalanan geografis, tetapi juga perjalanan ruhani dan intelektual yang membuka cakrawala baru tentang bagaimana masjid seharusnya mengambil peran sentral dalam membangun peradaban.
Perjalanan dimulai dari kampus SMI IQKL (Sekolah Menengah Islam Institut Qur’an Kuala Lumpur), yang terletak di pusat kota. Sekolah ini telah menjadi inspirasi hangat pada perjalanan akademik hari terakhir, memantik perdebatan dalam diskusi diperjalanan yang hangat, dan refleksi yang membingkai kegiatan akademik. Siang itu, rombongan STAIM Tulungagung berangkat menuju Bandar Seri Putra, kawasan yang terletak sekitar 35 kilometer di selatan pusat Kuala Lumpur, tepatnya di bawah wilayah Hulu Langat, Selangor. Dengan menggunakan van yang telah disewa selama di Malaysia-Thailand, rombongan mengambil rute melalui Lebuhraya Kuala Lumpur-Seremban (E37), lalu menyambung ke Lebuhraya PLUS (E2), keluar di Exit 213 ke arah Bandar Seri Putra. Waktu perjalanan dapat kami tempuh selama satu jam dalam kondisi lalu lintas yang kebetulan lancar. Sepanjang perjalanan, terlihat pemandangan khas Malaysia: gedung-gedung modern, lalu lintas yang tertib, serta langit yang mulai menghangat oleh cahaya matahari tropis yang memancar penuh semangat.
Begitu memasuki kawasan Bandar Seri Putra, nuansa berbeda mulai terasa. Perumahan-perumahan rapi dengan suasana yang lebih tenang, lingkungan yang tampak religius dengan banyak sekolah tahfiz dan madrasah berdiri berdampingan dengan pusat kegiatan warga. Di jantung kawasan inilah berdiri Masjid Bandar Seri Putra—sebuah masjid yang dikenal luas sebagai pusat dakwah berbasis masyarakat. Masjid ini bukan hanya megah dalam struktur arsitekturnya, tetapi juga agung dalam misi sosialnya. Dibangun dan dikembangkan sepenuhnya dari dana masyarakat, tanpa sokongan tetap dari pemerintah, masjid ini menjadi simbol bagaimana kemandirian umat bisa menciptakan dampak luar biasa.
Masjid Bandar Seri Putra dikenal karena kiprahnya dalam menyelenggarakan program dakwah, pendidikan, dan sosial secara konsisten dan terorganisir. Masjid ini memiliki visi besar menjadikan dirinya sebagai pusat kecemerlangan dakwah yang inklusif dan progresif. Di sini, masjid tidak hanya menyediakan tempat shalat lima waktu, tetapi juga ruang belajar untuk anak-anak, remaja, dan bahkan orang tua. Ada kelas tahfiz harian, pelatihan keterampilan untuk ibu-ibu, kajian intensif Islam untuk remaja, hingga pelatihan khutbah dan ceramah untuk pemuda. Semua program ini dijalankan dengan sistematis, menggunakan dana wakaf, donasi rutin jamaah, dan kampanye-kampanye sosial berbasis digital.
Model manajemen masjid ini sangat profesional. Dana dikelola transparan, laporan keuangan dipublikasikan berkala, dan program-program disusun berbasis kebutuhan komunitas. Tak heran jika masjid ini selalu hidup, bahkan di luar waktu shalat. Ada ruang belajar, perpustakaan, tempat diskusi, dan bahkan area rekreasi keluarga yang membuat masyarakat merasa masjid adalah bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Semangat ini seolah menghidupkan kembali semangat Masjid Nabawi di zaman Rasulullah, yang menjadi pusat seluruh aktivitas umat: dari ibadah hingga pendidikan, dari politik hingga diplomasi.
Tepat pukul 13.00 Ketua STAIM Tulungagung beserta rombongan menginjakkan kaki di Masjid Bandar Seri Putra untuk mengikuti kegiatan kolokium dan sekaligus menjalin kerjasama penandatanganan MoU. Delegasi langsung disambut hangat oleh Prof. Riza Atiq Abdullah Bin O.K. Rahmat, guru besar emeritus Teknik Sipil dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Beliau adalah pengurus Masjid Bandar Seri Putra dan seorang cendekiawan muslim terkemuka Malaysia yang telah lama aktif dalam kajian masjid dan peradaban Islam. Disamping itu kepakarannya juga dikenal luas atas pemikirannya yang progresif namun tetap berpijak pada khazanah keislaman klasik, salah satunya melalui gagasan “Masjid Nabawi: Memperkasa Pendidikan Unggul”.
Sesaaat kemudian setelah rombongan rihlah academic rehat sebentar menikamati ruang utama yang sejuk dan lapang, maka agenda kolokium dan dilanjurkan pendatanganan MoU dimulai berlansung di aula Masjid. Kolokium yang narasumber utama Prof. Riza Atiq Abdullah bin O.K. Rahmat, membahas tentang “Gagasan masjid Nabawi Memperkuat Pendidikan Unggul”. Dalam paparannya yang penuh wibawa dan semangat, Prof. Riza menjelaskan bahwa Masjid Nabawi di zaman Nabi bukanlah tempat yang pasif. Ia adalah ruang dinamis, tempat lahirnya kader-kader ulama, panglima perang, diplomat, dan negarawan. Di masjid itulah Rasulullah membina umat dari berbagai latar belakang sosial: mulai dari orang miskin hingga saudagar, dari mantan budak hingga bangsawan. Model pendidikan masjid tidak hanya kognitif, tapi juga spiritual, emosional, dan sosial. “Inilah yang hilang dari banyak masjid hari ini,” tegas beliau, “masjid hanya menjadi tempat ritual, bukan pusat pembentukan karakter umat.”
Prof. Riza kemudian menggarisbawahi bahwa Masjid Bandar Seri Putra menjadi contoh kontemporer bagaimana masjid bisa mengambil kembali peran historisnya. Dengan struktur organisasi yang rapi, pelibatan komunitas yang aktif, serta keberanian untuk berdiri secara finansial mandiri, masjid ini membuktikan bahwa kemandirian umat bukan utopia. Beliau juga menekankan pentingnya pendidikan unggul berbasis nilai-nilai Islam. Pendidikan unggul tidak hanya menghasilkan siswa cerdas secara akademik, tapi juga kuat dalam akhlak, tangguh dalam kepemimpinan, dan rendah hati dalam pelayanan sosial. Di sinilah masjid mengambil peran sebagai “rumah besar umat”, tempat semua potensi disatukan dan diarahkan untuk kebaikan.
Agenda kolokium yang merupakan rangkaian kegiatan rihlah academis STAIM Tulungagung berjalan sangat dinamis, antusias, menyimak setiap kata, mencatat poin penting, dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan cerdas. Agar kita bisa meniru model Masjid Nabawi ini di sekolah atau di masjid mulailah dari hal kecil—buat majelis ilmu, jadikan sekolah dan masjid satu ekosistem, libatkan orang tua dan masyarakat, dan yang paling penting: jangan pernah takut untuk mandiri secara finansial. Umat ini punya potensi besar.”
Kegiatan kolokium berakhir menjelang waktu asahar ditandai dengan penandatanganan MoU untuk menjalin hubungan Kerjasama antara STAIM Tulungaung beserta rombongan pimpinan perguruan tinggi lainnya. Setelah itu, kegiatan ditutup dengan foto bersama, pemberian kenang-kenangan, dan makan siang bersama ala nasi talam, yang menggambarkan kebersamaan ala Melayu-Islam. Banyak Pelajaran yang perlu direfleksikan darihasil kolokium tentang kemasjidan tersebut. Delegasi STAIM melakukan renungan dalam diskusi ringan yang penuh artidalam perjalanan ke KLIA. Rata-rata mereka berharap agar masjid-masjid di Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Masjid Bandar Seri Putra—bagaimana masjid bukan hanya tempat ibadah, tapi rumah belajar, tempat bertumbuh, dan ruang perjuangan umat.
Rihlah akademik hari keenam ini bukan hanya menutup perjalanan fisik, tapi membuka perjalanan spiritual dan intelektual yang lebih luas. Dari Masjid Bandar Seri Putra, delegasi membawa pulang gagasan besar: bahwa membangun peradaban Islam tidak cukup hanya dengan ilmu, tapi juga semangat pengabdian, keberanian untuk mandiri, dan keikhlasan untuk melayani umat. Sebuah bekal yang jauh lebih berharga daripada oleh-oleh fisik apa pun dari negeri jiran.
Di akhir hari rihlah cademic ke Malysia-Thailand, ada satu kalimat yang menjadi penanda makna mendalam dari kolokium ini: Masjid bukan sekadar bangunan, tapi fondasi peradaban. Mari kita hidupkan kembali Masjid Nabawi di tanah kita masing-masing. (Soeripto)