STAIM MEREFRESH SEMANGAT DI PANTAI SAMILA SONGKLHA-THAILAND
STAIMTA.AC.ID. Jum’at, 14 Juni 2025 di pagi hari adalah hari ketiga agenda rihlah academic STAIM Tulungagung ke Malaysia – Thailand. Setelah melewati istirahat yang cukup bermalam di Levaana Hotel di Hat Yai-Thailand, rombongan akan meneruskan beberapa agenda akademicnya kembali yang sudah menunggu di Malaysia pada hari ke empat. Perjalanan dari Hat Yai memakan waktu jarak tempuh + 12 jam. Sehingga start perjalanan dimulai tepat pukul 09.20 waktu setempat. Berbeda dengan Indonesia-Malaysia, tidak ada perbedaan waktu antara Indonesia-Thailand. Momentum perjalanan sebelum pos pemeriksaan imigrasi Bukit Kayu hitam dimanfaatkan untuk merefresh semangat ke tempat wisata. Ada jeda waktu yang sengaja disisipkan dalam padatnya jadwal, sejenak menyentuh alam, menyegarkan semangat, dan mengendapkan makna dari perjalanan akademik ini. Pilihan pun jatuh ke sebuah tempat yang melegenda di Thailand Selatan—Pantai Samila. Destinasi iconic yang tak hanya terkenal karena keindahan panoramanya, tetapi juga karena kisah klasik Putri Duyung yang seolah menjadi penjaga mistis bagi kawasan ini.
Dari hotel, rombongan check out lebih awal. Sehingga sinar matahari di pagi hari cahayanya menghangatkan kota yang sehari sebelumnya menjadi saksi dialog intelektual lintas negara. Kendaraan perlahan bergerak keluar hotel yang terletak di 738 Rajuthit Rd, Tambon Hat Yai, Amphoe Hat Yai, Chang Wat Songkhla 90110 bergabung ke jalan utama kota Songkhla yang bersih dan tertata. Rute menuju Pantai Samila relatif dekat, hanya sekitar 34,2 km dan dapat ditempuh dalam waktu 47 menit dengan kendaraan. Namun meski jarak itu tergolong pendek, sensasi perjalanannya menyuguhkan pengalaman tersendiri. Mobil-mobil bergerak menyusuri perjalanan ke arah Thanon Chana, salah satu jalan utama yang menghubungkan area administratif Muang Songkhla dengan kawasan wisata pesisir. Di kiri kanan jalan, bangunan-bangunan berarsitektur kolonial berdiri berdampingan dengan pertokoan modern, menciptakan kolase visual yang menyatu antara masa lalu dan masa kini.
Suasana kota Songkhla terasa berbeda dibanding Hat Yai yang dinamis. Kota ini lebih tenang, sedikit lebih lambat dalam ritme, namun justru di situlah pesonanya berakar. Sepanjang perjalanan menuju pantai, udara mulai terasa lembap dan segar. Bau laut perlahan menguar dari kejauhan, dibawa angin yang bertiup melalui celah-celah pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan.
Memasuki kawasan pesisir, kendaraan mulai menyusuri Jalan Rajamangala University Road yang melengkung mengikuti kontur garis pantai. Di kanan jalan, mulai terlihat perahu-perahu kecil yang terparkir di dermaga lokal. Sementara di sisi kiri, pepohonan pinus laut berjajar seolah menyambut kedatangan para tamu asing. Tidak lama kemudian, hamparan pasir keemasan mulai terlihat di balik pepohonan. Laut biru dengan riak gelombang kecil tampak menyatu dengan cakrawala, dan di tengahnya, sosok perunggu mengilap dari kejauhan—patung Putri Duyung, ikon abadi Pantai Samila.
Sesampainya di area parkir, kendaraan berhenti di tepi jalan yang langsung menghadap ke laut. Rombongan turun, membuka pintu mobil dengan langkah ringan, seolah beban kerja dan diplomasi akademik seketika larut bersama semilir angin pantai. Udara asin yang khas langsung menyapa wajah. Lambaian ombak yang lembut bercampur dengan pengunjung Langkah pengunjung yang sedang berkuda ditepi di tepi pantai.
Pantai Samila menawarkan lanskap yang mempesona. Pasirnya lembut dan halus, cocok untuk berjalan tanpa alas kaki. Rombongan berjalan perlahan menuju ikon utama pantai: patung Putri Duyung. Di sekitarnya, wisatawan dari berbagai negara bergantian berfoto dengan latar laut biru dan langit yang mulai merona keemasan. Di sisi lain, deretan kios makanan dan suvenir tampak mulai ramai. Aroma kacang rebus dan kelapa bakar memenuhi udara, menciptakan suasana khas wisata pantai.
Selain menikmati keindahan alam, pengunjung juga dapat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas, seperti menaiki kuda yang disewakan di sepanjang pantai, bermain layang-layang, atau bermain air ditepi Pantai yang indah. Bagi yang ingin bersantai, tersedia pula tempat berteduh di bawah pepohonan yang rindang, sambil menikmati jajanan khas Thailand Selatan, seperti ketan mangga atau es krim kelapa muda yang disajikan dalam batok kelapa.
Di sekitar pantai, terdapat berbagai kios yang menjual pernak-pernik khas, seperti gantungan kunci atau hiasan kulkas berlambang Putri Duyung, serta replika patung kecil seharga 10 Baht. Meskipun sebagian besar penjual tidak fasih berbahasa Inggris, mereka dikenal ramah dan sering menggunakan bahasa isyarat atau kalkulator untuk berkomunikasi dengan pengunjung.
Pantai Samila juga dikenal dengan suasana yang tenang dan bersih. Meskipun merupakan destinasi wisata populer, pantai ini tidak terlalu ramai, sehingga pengunjung dapat menikmati keindahan alam dengan nyaman. Kebersihan pantai terjaga dengan baik, mencerminkan kesadaran masyarakat lokal akan pentingnya pelestarian lingkungan. Padatnya agenda dan jarak tempuh perjalanan yang masih harus di tempuh ke Malaysia, setelah berhenti sejenak sekedar menandai jejak dan say hello di Pantai Samila, rombongan langsung bergerak pintu perbatasan Thailand – Malaysia.
Persinggahan singkat di Pantai Samila ini ternyata menjadi bagian penting dari keseluruhan rangkaian rihlah akademik. Di sini, di antara pasir dan semilir angin pantai ombak, rombongan bukan hanya meregangkan otot, tapi juga mengendapkan pikiran. Bahwa dalam perjalanan ilmu, sesekali kita perlu berhenti, menyapa alam, dan membiarkan diri kita diisi ulang oleh ketenangan yang tak diajarkan di ruang kelas mana pun. Selain menikmati keindahan alam, rombongan juga dapat merasakan atmosfer sejarah dan budaya lokal yang kental. Perjalanan ini menjadi bagian penting dalam rangkaian kegiatan akademik dan diplomasi yang dijalani oleh Ketua STAIM Tulungagung selama di Thailand Selatan. (Soeripto)