PERJALANAN AKADEMIK KE NEGERI JIRAN
STAIMTA.AC.ID. Di tengah dinamika global yang terus berubah cepat dan kompleks, dunia pendidikan tinggi dituntut untuk bertransformasi lebih cepat, adaptif, dan progresif. Tak hanya menjadi pusat ilmu pengetahuan dan riset, perguruan tinggi kini juga harus membuka diri terhadap jejaring dan kolaborasi internasional. Menyadari pentingnya peran ini, Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Tulungagung mengambil langkah besar melalui program Rihlah Akademik Internasional ke dua negara Asia Tenggara—Malaysia dan Thailand.
Dengan membawa semangat kolaboratif dan semangat dakwah intelektual, STAIM Tulungagung bergabung bersama sembilan perguruan tinggi lainnya dalam program strategis lintas negara selama satu bulan penuh. Rangkaian rihlah akademik ini tak hanya simbolik, tetapi sarat dengan aktivitas nyata yang memperkuat internasionalisasi perguruan tinggi berbasis Catur Dharma: Pendidikan, Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, serta Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
Rabu malam, 11 Juni 2025, suasana kampus STAIM Tulungagung dipenuhi rasa bangga. Empat mahasiswa terbaik kampus, yaitu Ilyas Agung Nasrulloh, Syahrizal Alifi Yuliantoro, Sri Hariati dari Program Studi Ekonomi Syariah, serta Octavia Anggraini dari Prodi PGMI, dilepas secara resmi oleh jajaran pimpinan kampus. Mereka tidak sendiri; didampingi langsung oleh Ketua STAIM, Dr. Suripto, S.Ag., M.Pd.I, dan dosen pembimbing, Moh. Riza Zaenuddin, M.Pd.I.
Perjalanan dimulai pukul 22.00 WIB, menuju Terminal 2 Bandara Internasional Juanda, Surabaya. Setelah menempuh perjalanan 144,5 km selama 3,5 jam, rombongan sampai di bandara pada pukul 01.30 dini hari. Tiga puluh menit kemudian, mereka melaksanakan check-in dan bersiap masuk ke ruang tunggu untuk boarding. Tepat pada pukul 04.42 WIB para delegasi bersama penumpang lainya mulai memasuki pesawat menggunakan maskapai AirAsia dengan nomor penerbangan QZ 320. Suasana dini hari tak menyurutkan semangat para delegasi yang akan terbang menuju Kuala Lumpur, Malaysia.
Pagi buta di langit Surabaya, tepat pukul 05.00 WIB, suara mesin pesawat AirAsia QZ 320 meraung pelan sebelum akhirnya mengudara. Rombongan delegasi STAIM Tulungagung bersama peserta Rihlah Akademik dari sembilan perguruan tinggi lain bersiap menjalani petualangan ilmiah lintas negara. Dengan kecepatan rata-rata 668 km/jam dan ketinggian jelajah 32.000 kaki (sekitar 9.754 meter), jarak penerbangan menuju Kuala Lumpur sepanjang + 1.670,75 km terasa singkat namun penuh harapan.
Pemandangan dari atas jendela pesawat memukau: langit cerah, gumpalan awan tipis menggantung, dan bias cahaya pagi yang menyinari perjalanan. Sekitar pukul 08.30 waktu Malaysia (07.30 WIB), pesawat mendarat dengan mulus di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), bandara megah yang menjadi simbol keterbukaan dan kemajuan Negeri Jiran.
Begitu memasuki area terminal, nuansa arsitektur KLIA langsung terasa: modern, lapang, dan berpadu harmonis dengan elemen alam tropis. Desain bandara ini merupakan karya arsitek Jepang ternama, Kisho Kurokawa, yang mengusung filosofi “airport in the forest, forest in the airport”. Ini bukan sekadar slogan — ruang-ruang di dalam terminal utama dihiasi dengan taman-taman indoor, pohon-pohon rindang, dan bahkan area konservasi hutan hujan tropis mini yang bisa dijelajahi oleh penumpang saat transit.
Cahaya alami masuk dari atap tinggi yang berbentuk seperti sayap burung, memberikan kesan lapang sekaligus futuristik. Pilar-pilar besar menyerupai pohon menambah kesan organik yang menyatu dengan alam. Kombinasi antara elemen kaca, logam, dan kayu menciptakan suasana yang tidak hanya elegan dan bersih, tetapi juga hangat dan menyambut.
KLIA bukan sekadar tempat transit, tetapi pintu gerbang budaya dan akademik yang menyambut hangat para tamu dari berbagai belahan dunia. Nuansa modernistas rancang bangunannya menggambarkan semangat Malaysia sebagai negara yang siap menyambut masa depan global. Hal ini tercermin pada slogan yang terpampang di beberapa terminal—“Bringing the world to Malaysia and Malaysia to the world”—terasa begitu nyata.
Setelah melewati proses imigrasi dan baggage claim, para delegasi Indonesia yang terdiri dari 39 mahasiswa dan 14 pimpinan perguruan tinggi bergabung menjadi satu rombongan besar. Tak ada sekat institusi—hanya semangat yang sama: memperluas wawasan, membangun jaringan internasional, dan mengukir sejarah akademik bersama. Agenda pertama mereka pun dimulai: Lawatan Daily Education Trip ke Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), sebagai pembuka dari rangkaian rihlah yang memberikan pengalaman luar biasa. (Soeripto)