Soal Langgam al-Qur’an (Ikut-Ikutan Omong)

Di antara kegaduhan nasional saat ini adalah soal melagukan al-Qur`an dengan langgam Jawa. Soal langgam-langgaman, saya punya cerita yang mirip. Karena cuma mirip, tentu saja tidak persis sama. Baru saja saya menyanyikan lagu Sunda, Manuk Dadali, dengan langgam Arab. Sekira tahun 2010 saya dapat kiriman lagu Balonku via bluetooth di hape, juga dengan langgam Arab. Bayangkan sendiri, seperti apa lagu Balonku dinyanyikan dengan langgam Arab. Yang jelas, saya kerap memutarnya di rumah, di perjalanan, di tempat kerja, di mana saja sesuka saya. Bayangkan juga, saya mendengarkannya sambil cengar-cengir sendiri karena merasa geli.

Apa yang mungkin Saudara rasakan ketika misalnya mendengar saya melagukan Manuk Dadali dengan nada diarab-arabkan? Mungkin geli, mungkin sinis, dan pada stadium tertentu mungkin murka seraya menuding, “Ente sudah melakukan pelecehan. Manuk Dadali ente nyanyikan dengan nada seperti sedang baca Quran.”

Baik, kita urai satu-satu. Bersikaplah tenang, jangan uring-uringan tanpa tahu duduk-perkara, jangan panik atau reaktif. Sisakan tempat yang cukup di pelataran nalar kita untuk tabayyun, cek dan ricek, dan penelusuran tentang inti permasalahan. Tidak baik jadi manusia berisik, ngambekkan, asal tuding dan lain semacamnya.

Ketika kita baca Kitab Suci al-Qur`an, apa saja hal yang harus ada? Harus ada sekurangnya dua perangkat: software dan hardware. Yang pertama antara lain berupa niat yang tulus (semata karena Allah), tujuan yang luhur (berharap ridha-Nya), serta sebisa mungkin melakukan penghayatan mendalam. Sedangkan yang kedua di antaranya kefasihan yang meliputi kaidah-kaidah tajwid dan makhraj (artikulasi perhuruf dan perkata). Panjangkan yang harus dipanjangkan, tebalkan yang harus ditebalkan, tipiskan yang harus ditipiskan, samarkan yang harus disamarkan, sembunyikan yang harus disembunyikan, dan lain-lain serupa itu. Bedakan hamzah dari ‘ain, ha dari kha, jim dari zay, sin dari syin dan shad. Baca huruf fa dengan F, bukan P, jangan sampai FITNAH dibaca PITNAH agar tidak timbul pitnah. Eh…

Bagaimana dengan langgam? Tidak harus pakai langgam. Membaca al-Qur`an secara datar-datar saja, tanpa nada tanpa lagu, boleh saja. Kalau mau pakai langgam, silakan! Terlebih jika dengan memakainya penghayatan lebih mendalam, pemaknaan lebih terasa. Tapi pastikan, langgam tidak mengorbankan kefasihan, kaidah tajwid dan makhraj. Harus dengan langgam Arab? Tidak harus! Tapi sudah terbiasa dengan langgam Arab? Itu soal kebiasaan, tidak berkaitan dengan soal boleh-tidak boleh.

Tapi bukankah baca al-Qur`an dengan langgam Jawa bisa menjurus pada deislamisasi? Tidak menjurus ke sana, sama sekali. Paling-paling dearabisasi. Bedakan Islam dari Arab. Kamu tahu Abu Jahal dan Abu Lahab orang mana? Bisa jadi Abu Jahal lebih fasih darimu dalam berturur bahasa Arab. Yang universal dari al-Qur`an adalah bacaan dan kandungan maknanya. Langgamnya bersifat lokal. Lokalitas bisa nimbrung dalam langgam. Gak jadi soal. Paham? Gak usah merengut begitu, enjoy saja! Berislamlah secara smart, enjoy, happy, riang-gembira, ringan (bukan menganggap enteng), seraya mengumbar senyum.

Tapi mendengar bacaan al-Qur`an dengan langgam Jawa, lucu jadinya. Lucu-tidak lucu itu soal selera-subjektif, tidak berhubungan dengan perkara boleh-tidak boleh. Tapi bukankah dalam hadis riwayat Tirmidzi Nabi Saw. melarang cara baca orang-orang fasik dan Ahli Kitab? Kamu pikir mereka yang membaca al-Qur`an dengan langgam lokal itu orang-orang fasik atau Ahli Kitab? Sejak kapan dirimu punya stempel untuk menunjuk selainmu sebagai fasik, kafir, murtad, sesat? Hadis atau nas agama lainnya bukan hanya untuk dibaca teks lahirnya saja, tapi selami juga kedalaman substansinya. Kedangkalan, permukaan, kulit dan padanan lainnya hampir selalu berkonotasi negatif dan berdampak jelek.