Warung Kopi, Resto Cafe, & Penikmat

(Bagian pertama)

Oleh: Nur Kholis

Ngopi, cafe, dan cangkruk’an akhir-akhir menjadi trend massif yang tidak hanya dimonopoli oleh kalangan anak muda, mulai dari kota besar sampai kota semi desa. Setiap saat, jam istirahat siang, menjelang malam, dan sampai larut malam mereka berkumpul di warung kopi dan cafe langganannya. Diantara mereka berstatus pelajar, mahasiswa, makelar, marketing, karyawan, aktifis, geng atau komunitas seperti geng motor, penghobi, dan sebagainya. topik pembicaraan selama cangkruk’an cukup beragam, mulai dari yang sifatnya informal, formal, dan intermezo sehingga sesekali terdengar gelak tawa yang mengesankan “kemerdekaan”nya. Ya…bebas apa saja, ngomong apa saja, meski kadang terkesan membingungkan, mereka berkumpul tetapi tidak menyatu karena banyak diantara mereka sibuk dengan HP-nya masing.

Trend demikian menimbulkan makin tingginya peluang mendirikan warung kopi. Tempat-tempat demikian dapat kita kategorikan menjadi tiga, yaitu: warung kopi, cafe, dan restoran kopi. Warung kopi adalah tempat menjual kopi yang sederhana dengan menyediakan aneka ragam kopi sacet. Cafe merupakan tempat cangkruk’an yang tidak hanya menyediakan kopi tetapi juga minuman-minuman yang memabukkan dilengkapi dengan sarana karaoke dan purel. Sedangkan restoran cafe merupakan tempat menjual kopi berkelas dengan kemasan restoran yang biasanya dilengkapi dengan wifi. Pengkategorian demikian hanya untuk mempermudah memetakan analisis trend budaya ngopi, karena realitanya ketiganya saling bersinggungan terutama sarana dan fasilitas plusnya lainnya sebagai instrumen memperbanyak pelanggan.

Derasnya arus informasi mempengaruhi makin variatifnya kemasan cafe sehingga budaya metropolis ini juga menjangkiti semua orang; kota-desa, remaja-dewasa, laki-perempuan yang berdampak positif dan negatif. Secara ekonomi trend demikian mempengaruhi putaran uang masyarakat; menggairahkan pasar; menstimulan makin bervariasinya jenis, rasa, dan kemasan produk kopi; menambah peluang usaha baru; meningkatkan kreatifitas pengusaha cafe dengan meningkat sarana, fasilitas dan layanan plus-plus lainnya; meningkatkan pengetahuan dan imajinasi masyarakat dengan berkembangnya budaya diskusi komunitas informal. Selain itu, perlu diwaspadai merebaknya budaya konsumerisme, budaya instan, budaya hedonis, budaya materialisme, dan mempengaruhi perilaku sosial masyarakat.

Fenomena demikian menarik, yang dalam pandangan penulis bahwa adanya kecenderungan proses transformasi sosial, dari penekanan kelas ke status sosial, misalnya pemilihan tempat minum kopi, makan, cangkruk’an, misalnya eza dkk lebih suka tongkrongan di bawah Trembesi. Tempat-tempat demikian merupakan simbol status sosial dengan penekanan gaya hidup modern. Menurut Mike Featherstone bahwa konsumsi secara alami telah memberi identitas yang tidak melulu terbatas bagi kaum muda dan kaum kaya, melainkan secara potensial berdampak pada kehidupan setiap orang. Segala sesuatu adalah mungkin, kita dapat menjadi siapapun yang kita inginkan sejauh telah siap untuk mengkonsumsi, maka yang terjadi adalah estetisasi dalam kehidupan yang semua dicitrakan menjadi yang terbaik. Minum kopi atau makan tidak lagi subtansi kopi dan makannya yang dicari, tetapi dengan siapa dan apakah tempatnya nyaman, aman, dan bercitra tinggi, begitu juga dengan cangkir, piring, layanan dan asesoris lainnya apakah berbeda dengan lainnya, yang diikuti dengan kebiasaan orang-orang sekarang mengupload moment-moment makan dan ngopi tersebut, hal ini secara tersirat menunjukkan status sosialnya di kalangan teman-teman media sosialnya.

Kecenderungan didalam estetisasi kehidupan demikian sesungguhnya telah menegaskan proses-proses individualisasi dalam dua tingkatan. Pertama, terjadi individualisasi didalam pengertian bahwa sistem nilai yang terbentuk melalui proses penambahan unsur-unsur seni dan keunikan didalam berbagai pola konsumsi dan praktik kehidupan lainnya secara akumulatif menyebabkan terbentuknya nilai-nilai baru kelompok. Kedua, gaya (style), dan mode seseorang telah memisahkan dirinya dari kelompoknya sendiri, di mana setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah (value added) dengan cara mengkonsumsi barang yang berbeda dengan orang lain dalam kelompoknya, misalnya kesukaan atau hoby dan mengkoleksi dan mempublis barang-barang trendis seperti; akik, pakaian, makanan, dan tempat-tempat ngopi, serta pilihan organisasi ekstrim kirir atau kanan diluar kelompoknya.

Pencarian nilai tambah (value added) untuk menunjukkan perbedaan seseorang dengan orang lain atau suatu kelompok dengan kelompok lain, inilah yang disebut proses budaya differensiasi yang kadar kualitas dan pilihan bentuknya bermacam-macam, ada yang berbentuk gaya pakaian, gaya rambut, gaya rumah, gaya mobil, gaya asesoris, gaya pemikiran, gaya traveling, pilihan teman, pilihan organisasi dan sebagainya. Idealogi perbedaan ini menjadi prinsip yang sangat kuat yang menyebabkan proses sosial bukan lagi merupaka proses “homogenisasi” tetapi menjadi proses “hiterogenisasi” dalam menegaskan identitas pribadi yang bermuara pada privatisasi kehidupan.

Proses privatisasi kehidupan ini terjadi secara meluas, di mana “gaya” sesungguhnya berorientasi pada keunikan dan seni yang autentik sehingga ia bersifat pribadi, sebuah seni yang baik tentu saja tidak ada kembarannya. Misalnya mode dan gaya pakaian yang harus khas, produk limited, menjamurnya boutiq dan sebagainya. Kecenderungan ini tentu menghasilkan suatu penyakit sosial di mana etika sosial digantikan dengan etika individual, sikap emic yang seharusnya dikedepankan diganti dengan sikap etik yang mengukur sesuatu dengan standar dirinya, kecenderungan kehilangan sensifitas terhadap hal-hal yang berhubungan dengan orang lain, sikap toleransi dikesampingkan, kepekaan terhadap orang-orang sekitarnya pudar, dan munculnya sikap individualis yang makin marak di semua kalangan masyarakat yang diakibatkan oleh kesadaran konsep “AKU & DIA” rendah.